Di suatu desa, ada salah satu keluarga
yang hidupnya sederhana, mereka mempunyai anak namanya adalah Jati. Jati
memiliki 1 adik dan 1 kakak. Jati ini adalah anak yang berprestasi di
sekolahnya. Selain itu, dia juga memiliki sikap menolong, masih lugu dan sikap jujur
kepada semua orang. Apapun yang terjadi padanya, entah itu masalah kecil dia
selalu mencurahkan isi hatinya kepada ibunda tercintanya. Sikap jujurnya ini
sampai membuat semua orang terkagum melihat sikap yang dimilikinya. Ibunya hanyalah
seorang pembuat susu kedelai dan ayahnya bekerja sebagai buruh serabutan.
Setiap habis pulang sekolah, Jati selalu membantu ibunya berjualan susu kedelai
buatan ibunya di sekitar komplek perumahan dengan ikhlas tanpa disuruh oleh
ibunya.
Pada suatu hari liburan sekolah pun tiba. Jati bergegas bangun,
mengambil air wudhu untuk sholat shubuh dengan khusyuk, dan segera membantu
ibunya membuat susu kedelai yang akan dijualnya nanti. Matahari sudah
menampakkan sinarnya. Jati segera bergegas berangkat menjual susu kedelai buatan
ibunya.
Siang telah datang. Matahari sudah beranjak naik. Jati istirahat
sejenak dibawah pohon yang rindang. Ia mengusap peluh yang bercucuran di
dahinya. Setelah satu jam lamanya ia berkeliling komplek perumahan untuk
menawarkan barang dagangannya, ia berhasil mengumpulkan beberapa lembar rupiah.
Tentunya ia sangat senang sekali karena semuanya habis terjual. Sudah tiga hari
ini, Jati berjuang keras untuk mengisi liburan sekolahnya dengan berjualan susu
kedelai buatan ibunya. Ia berkeliling komplek perumahan yang tak jauh dari
kampungnya. Ia belum akan kembali ke rumah sebelum semua dagangannya laku
terjual. Sekilas terbayang raut muka memelas wajah Asih, adik satu-satunya yang
ia sayangi.
Jati memang ingin mengumpulkan uang sekedar untuk membelikan obat
adiknya, yang kini terbaring lemah tak berdaya. Hanya itu yang bisa dilakukan
Jati, mengingat Ayahnya yang bekerja sebagai buruh serabutan tak mampu membawa
Asih ke Dokter apalagi Rumah Sakit. Pernah suatu ketika Asih dibawa ke Rumah
Sakit karena penyakit radang paru-paru yang dideritanya. Namun, belum sampai
tuntas pengobatannya Asih harus segera dibawa pulang karena tak kuat menanggung
biaya Rumah Sakit yang begitu mahalnya.
”Alhamdulillah, daganganku laris hari ini. Susu kedelai buatan Ibu
memang luar biasa”, gumam Jati. Setelah itu ia menghitung lembaran rupiah yang
berhasil ia kumpulkan hari ini. ”Dua puluh ribu, Yess! Itu artinya aku masih
bisa menyisihkan uang untuk membeli obat buat Asih. Sabar ya dik, Aku akan
senantiasa berdo’a dan berusaha untuk kesembuhanmu. Supaya kita bisa kembali
bermain, belajar, mengaji abatatsa di Mushola, Ustadz Yusuf pun tentu sudah
kangen dengan celotehmu yang lugu dan lucu“, betapa girangnya seorang Jati.
Jati terus berjalan menyusuri komplek perumahan menuju rumahnya.
”Ini adalah hari yang menyenangkan bagiku, susu kedelai buatan ibu terjual
habis. Sore nanti aku akan kembali berkeliling, menjajakan minuman kesehatan
buatan ibuku tersayang. Dan siang ini aku masih bisa bermain layang-layang
bersama Sofyan. Sungguh liburan yang paling menyenangkan“, batin Jati.
Ditengah-tengah perjalanan menuju kampungnya, kaki Jati menyampar
sebuah dompet. “Ups,.. dompet siapa ini?”, tanya Jati keheranan. Dengan gemetar
ia membuka isinya. “Masyaallah, uang??!!” Jati semakin terperanjat kaget karena
bisa dipastikan ia tak pernah memegang atau memiliki uang sebanyak ini. Kepala
Jati menoleh kanan dan kiri, tak ditemuinya seorang pun. Keringat panas dingin
mendadak bercucuran dari dahi Jati. “Ah… Aku tak pernah memegang uang sebanyak
ini”, gumamnya. “Lalu milik siapa ini?!”. Buru-buru jati menyimpan dalam
plastik hitam yang ia bawa. Ia bergegas berlari menuju rumahnya hendak
bercerita kepada Ibunya.
Di sepanjang perjalanan, Jati terus membayangkan
seandainya ia punya uang sebanyak ini tentu ia dan keluarganya tak perlu
bersusah payah bekerja demi kesembuhan Asih. Pikirannya berbisik, “Ambillah
uang itu, toh tidak ada yang tahu kalau kamu menemukan uang itu. Tak usah
dikembalikan kepada pemiliknya. Pasti ia orang kaya dan bisa dengan mudah
mencari uang lagi. Sedangkan kamu, waktu liburan saja kau gunakan untuk
berkeliling komplek perumahan demi selembar uang dua puluh ribuan. Ayo
ambillah”. Batin Jati terus bergejolak mendadak, ia segera beristighfar.
“Astaghfirullah, mengapa aku memiliki pikiran selicik ini. Bukankah uang ini
bukan milikku, meski aku yang menemukannya dan tak seorangpun tahu“. semakin
keras Jati ayunkan langkah menuju rumahnya.
“Assalamu’alaikum”
ucap Jati ketika memasuki gubuk tuanya. “Wa’alaikum salam” jawab Ibunya. “Bu,
Ibu, aku menemukan ini bu” ucap jati kepada Ibunya, yang tengah berdiri membukakan
pintu. “Kenapa tho, Le. Kok teriak-teriak dan kamu terlihat pucat sekali” jawab
Ibunya. “Aku menemukan dompet bu” ungkap Jati. “Dimana?” tanya Ibu dengan nada
keheranan. “Di komplek perumahan sepulang aku berjualan bu, dan jumlahnya aku
belum sempat menghitung tapi kupikir banyak sekali” Ibu terkejut mendangar
cerita Jati. Dengan terengah-engah, Jati melanjutkan ceritanya. “aku tidak tahu
bu, dompet ini milik siapa. Dan aku belum sempat membuka seluruh isinya, aku
takut bu di tengah-tengah seluruh keterbatasan kita, kita menjadi gelap mata
dan ingin memiliki yang bukan hak kita. Maka aku bergegas kembali kerumah untuk
bercerita kepada Ibu. Ini bu dompetnya.” Jati memberikan bungkusan plastik
hitam kepada ibunya.
Ibu sangat terkejut ketika melihat isi di dompet itu. “Masyaallah,
pasti yang punya merasa sangat kehilangan uang ini, Le. Coba kamu lihat dan
cari identitas atau tanda pengenal dalam dompet itu”, sergah Ibu Jati. “Baik
bu”, Jati menimpali. “Ini bu, ada KTP tertera nama dr. Heryawan Sp.OG. Alamatnya
di Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas. Pasti dompet ini miliknya bu” jawab Jati.
“Baiklah mari kita segera kerumahnya, pasti dokter Heryawan sangat kehilangan”.
Bergegas Ibu Jati mematikan kompor di dapurnya. “Air ini sudah
mendidih dan nasi sudah tersedia kalau nanti bapakmu pulang dan kita tidak
dirumah semua sudah terhidang. Ibu akan menitip pesan kepada Asih biar nanti ia
menyampaikan kita sedang kerumah dokter Heryawan”, tukas Ibu Jati. Dengan sigap
ibu Jati membereskan seluruh pekerjaan di dapurnya. “Tapi Bu,”, ucap Jati. “Kenapa?
Apa yang kamu pikirkan Jati?”, sergah Ibunya. “Kita kan, bisa mengambil
beberapa lembar saja dari uang itu, toh pemiliknya juga pasti dengan mudah akan
mencarinya lagi, toh pasti ia orang kaya.”, dengan terbata Jati berucap.
“Istighfar, Jati. Allah pasti akan marah jika kita melakukan hal
ini. Ingatlah ini bukan milik kita, bukan hak kita, meskipun kita sangat
membutuhkannya. Ayolah bergegas kita kerumah pemilik dompet ini, sebelum siang
datang menjelang, karena ibu masih harus menyiapkan susu kedelai untuk kamu
jual lagi sore ini” Ucap ibunya dengan nada tinggi.
“Astagfirullah, baiklah Bu”, jawab Jati dengan nada penuh sesal.
“Astagfirullah, baiklah Bu”, jawab Jati dengan nada penuh sesal.
Jati dan ibunya
berjalan menuju komplek perumahan Limas untuk mencari alamat dokter Heryawan.
Bukan hal yang sulit bagi Jati dan Ibunya untuk menemukan rumah dokter
Heryawan, toh hampir seluruh komplek perumahan ini sudah pernah dijajahi Jati.
“Ini pasti
rumahnya bu, dr. Heryawan Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas. Wah bagus
sekali rumahnya, asri dan sangat bersih”
“Assalamu’alaikum” Ibu Jati mengucapkan salam. Tak lama kemudian
dibukakanlah pintu dan datanglah seorang bapak berkacamata. “Wa’alaikum salam,
ada yang bisa saya bantu bu, anda mencari siapa?” tanyanya. “Apakah ini benar
rumah dokter Heryawan?” tanya Ibu Jati. “Betul Bu, saya dokter Heryawan,
silahkan masuk dan silahkan duduk.”, jawab dokter Heryawan.
“Terimakasih” Jati dan Ibunya masuk kerumah dokter Heryawan. Mata
jati tak henti hentinya memandang kesekeliling ruang tamu dokter Heryawan.
“Begini Pak, Anak saya, Jati pagi tadi ketika pulang dari
berjualan menemukan dompet ini Pak, dan didalamnya ada identitas nama bapak dan
sejumlah uang yang kami tidak membuka seluruh isinya” ucap ibu Jati memberikan
penjelasan kepada dokter itu.
“Oh Iya, Alhamdulillah. Benar bu, saya kehilangan dompet pagi tadi. Isinya identitas saya dan beberapa surat-surat penting. Berarti Nak Jati ini yang menemukan” ungkap dokter Heryawan.
“Oh Iya, Alhamdulillah. Benar bu, saya kehilangan dompet pagi tadi. Isinya identitas saya dan beberapa surat-surat penting. Berarti Nak Jati ini yang menemukan” ungkap dokter Heryawan.
“Betul Pak, tak sengaja sepulang berjualan keliling komplek ini,
kaki saya menyampar sesuatu dan ternyata dompet”, ungkap Jati menjelaskan.
“Ini Pak, dompetnya” Ucap ibu Jati sambil menyerahkan bungkusan
plastik hitam berisi dompet.
“Iya benar sekali, ini milik saya, Alhamdulillah masih rezeki
saya. Isinya juga masih utuh. Terimakasih banyak ya, Nak Jati dan Ibu. Berkat
nak Jati dompet saya dan surat-surat penting itu masih utuh”. ucap dokter
Heryawan dengan nada syukur.
“Sebelumnya, kalau saya boleh tahu Ibu rumahnya dimana? Dan nak
Jati berjualan apa keliling komplek ini?” tanya dokter Heryawan.
“Saya sekeluarga tinggal di kampung sebelah pak, tidak jauh dari
komplek perumahan ini. Dirumah saya membuat susu kedelai untuk dijual Jati di
sekitar komplek ini”. Jawab Ibu Jati. “Baiklah Pak, kami segera pamit” ucap ibu
Jati.
“Tunggu sebentar bu” dokter Heryawan masuk ke dalam dan keluar
dengan membawa bungkusan plastik berwarna hitam. “Ini ada sekedar oleh-oleh
buat keluarga Ibu dirumah dan ini buat Nak Jati” dokter Heryawan menyerahkan
bungkusan platik hitam kepada Ibu dan menyerahkan amplop kepada Jati.
“Tak usah repot-repot Pak, ini sudah kewajiban kami” jawab Ibu
Jati sambil berpamitan.
“Tidak apa-apa bu, sekedar ucapan terimakasih saya kepada Ibu dan
Nak Jati. Dan saya akan sangat senang jika ibu bersedia menerimanya. Jangan
lupa sering-seringlah datang kerumah ini.”
“Baiklah Pak, terimakasih kami akan segera berpamitan pulang”
jawab Ibu
“Ya bu terimakasih kembali. Tapi sebentar bu, biar saya antarkan pulang” ucap dokter Heryawan.
“Ya bu terimakasih kembali. Tapi sebentar bu, biar saya antarkan pulang” ucap dokter Heryawan.
“Tidak usah Pak, khawatir merepotkan saja. Sekali lagi
terimakasih. Rumah kami tidak terlalu jauh kok. Assalamu’alaikum ” bergegas
Jati dan ibunya berpamitan.
Disepanjang
perjalanan Jati tak henti-hentinya berucap syukur dan terimakasih. Bukan karena
lantaran amplop yang ia terima tadi. Tetapi ia lebih bersyukur karena
dikaruniai sesosok ibu yang luar biasa. “Terimakasih ya Allah, engkau
karuniakan aku seorang ibu yang baik, yang akan terus mendidik, membesarkan dan
mengingatkanku ketika aku salah serta menuntunku dalam menjalani hidup ini”
Gumam Jati penuh syukur.
Maka kesimpulannya, sikap jujur harus
ditanam dan dimiliki sejak dini, meskipun dengan keterbasan seperti keluarga
Jati. Karena dengan sikap jujur, maka semua masalah yang ada pada hidup kita
bisa terselesaikan dengan baik. Dan kita pasti mendapatkan hikmah dari apa yang
telah kita lakukan untuk orang lain. Dengan bukti Jati menceritakan semua yang
terjadi kepada ibunya tentang penemuan dompet di jalan dan bergegas mengembalikan
ke pemiliknya. Pemiliknya merasa senang dan Jati diberikan amplop dan oleh-oleh
untuk keluarganya. Sungguh mengagumkan,bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar